Kabar mencengangkan datang dari Timur Tengah, ketika laporan terbaru mengungkap bahwa Israel menggunakan uang pajak Palestina sebesar Rp 8,8 triliun untuk melunasi utang listriknya. Informasi ini memicu gelombang kritik dari berbagai pihak yang mempertanyakan keadilan dan transparansi dalam pengelolaan dana publik.
Menurut laporan yang diterbitkan oleh Middle East Monitor, dana tersebut diambil dari pendapatan pajak yang dikumpulkan oleh Israel atas nama Otoritas Palestina (PA). Sesuai dengan perjanjian Oslo, Israel bertugas mengumpulkan pajak bea cukai dan PPN dari wilayah Palestina, yang kemudian diserahkan kepada PA. Namun, alih-alih menyerahkan seluruh dana tersebut, Israel justru menggunakan sebagian besar untuk melunasi utang listrik yang tertunda.
Tindakan yang Menuai Kontroversi
Keputusan Israel ini menuai reaksi keras dari pihak Palestina. Hussein Al-Sheikh, seorang pejabat tinggi di Otoritas Palestina, menyebut tindakan tersebut sebagai “perampasan terang-terangan terhadap hak-hak finansial Palestina.” Dalam pernyataannya, ia mengatakan:
“Kami mengutuk keras tindakan Israel yang mengambil uang rakyat Palestina tanpa persetujuan. Ini adalah pelanggaran hukum internasional.”
Kritik serupa juga datang dari berbagai kelompok advokasi HAM internasional, yang menilai langkah tersebut sebagai bentuk kontrol sepihak Israel terhadap ekonomi Palestina. Mereka menyoroti bahwa penggunaan dana ini akan memperburuk kondisi ekonomi di wilayah Palestina, yang sudah rentan akibat blokade dan pembatasan.
Mengapa Utang Listrik Mencapai Angka Fantastis?
Utang listrik yang menjadi sumber kontroversi ini berkaitan dengan pemasokan energi ke wilayah Tepi Barat dan Gaza. Perusahaan listrik utama Israel, Israel Electric Corporation (IEC), mengklaim bahwa utang listrik tersebut telah menumpuk selama bertahun-tahun akibat ketidakmampuan PA untuk membayar tagihan.
Namun, menurut pengamat ekonomi Palestina, masalah ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan pada PA. Mereka menyebut bahwa kerusakan infrastruktur akibat konflik, serta ketergantungan penuh Palestina pada pasokan listrik dari Israel, memperparah situasi tersebut. “Palestina seakan dipaksa membayar biaya yang tidak adil karena mereka tidak memiliki alternatif energi lain,” kata Mohammed Khalil, seorang analis energi dari Ramallah.
Dampak Ekonomi di Palestina
Keputusan ini membawa dampak besar bagi ekonomi Palestina, yang sudah terpuruk akibat blokade berkepanjangan dan pandemi global. Dana pajak Palestina yang seharusnya digunakan untuk mendanai sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur kini berkurang drastis.
Seorang warga Gaza, Ahmed Abu Salah, mengungkapkan kekhawatirannya:
“Kami hidup dalam kondisi yang sudah sangat sulit. Uang ini seharusnya digunakan untuk memperbaiki kehidupan kami, bukan untuk membayar utang Israel.”
Tidak hanya itu, para pengusaha lokal juga merasa tertekan karena kebijakan ini mempersempit peluang investasi dan bantuan ekonomi di wilayah Palestina.
Reaksi Internasional
Kasus ini juga menarik perhatian komunitas internasional. Beberapa negara mendesak Israel untuk segera mengembalikan dana tersebut kepada Otoritas Palestina. Di sisi lain, kelompok advokasi seperti Amnesty International menyerukan investigasi independen atas pengelolaan dana pajak Palestina oleh Israel.
“Ini bukan hanya masalah keuangan, tetapi juga masalah hak asasi manusia. Rakyat Palestina berhak atas akses penuh terhadap sumber daya mereka sendiri,” ujar perwakilan Amnesty dalam sebuah pernyataan resmi.
Kontroversi seputar penggunaan dana pajak Palestina untuk melunasi utang listrik Israel mencerminkan kompleksitas hubungan ekonomi dan politik di wilayah tersebut. Dengan meningkatnya tekanan dari berbagai pihak, baik Israel maupun Otoritas Palestina diharapkan dapat menemukan solusi yang adil dan transparan.
Namun, hingga saat ini, langkah konkret untuk menyelesaikan isu ini masih belum terlihat. Yang pasti, keputusan sepihak semacam ini hanya akan memperdalam ketegangan di antara kedua belah pihak.